NENEKPAKANDE Cerita Rakyat Sulawesi Selatan. Bugis Makassar. October 18, 2020 · NENEK PAKANDE Cerita Rakyat Sulawesi Selatan. Related Videos. 0:55. Lagu Menagih utang secara halus 🤣
403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID nWLGWsElZ8KREOyzTE50Gy5Vfbh_RW1jziaKS4UXz-lhn0m7V7tzXw==
Iaketakutan dan lari keluar rumah. Namun, ia menginjak belut, sehingga jatuh dan terluka parah. Sayang, Nenek Pakande dapat bangun dan melarikan diri. Hingga sekarang, cerita Nenek Pakande digunakan oleh warga Sulawesi Selatan untuk menakuti-nakuti anak-anak agar mereka tidak keluar setelah hari mulai gelap.
JURNAL PALOPO- Artikel ini mengulas kisah Nenek Pakande, cerita rakyat dari Sulawesi Selatan yang makan daging anak-anak. pada zaman dahulu kala di daerah Sulawesi Selatan tepatnya di daerah Soppeng terdapat sebuah perkampungan. Di perkampungan tersebut semua orang hidup berdampingan secara damai. Baca Juga Legenda Gunung Rinjani, Kisah Kesabaran Dewi Mas, Diusir dari Istana hingga Lahirkan 2 Anak Berbakti Namun kedamaian mulai terusik ketika seorang nenek tua datang ke kampung mereka. Nenek itu berbadan bungkuk dan berpakaian compang-camping dia dikenal sebagai Nenek Pakande. Hingga sebuah kabar mengejutkan ternyata dia adalah sosok siluman, yang memiliki kemampuan ilmu hitam yang cukup tinggi. Nenek Pakande tidak suka bertemu dengan orang kecuali anak kecil. Ia sangat suka anak kecil. Baca Juga Dongeng Si Kancil dan Burung Merak, Ajarkan Anak untuk Tidak Sombong, karena Lebih Cerdas dari Orang Lain
Melaluiartikel The Jombang Taste kali ini kita akan mengambil hikmah cerita rakyat dari Sulawesi Utara. Di negeri antah berantah hidup seorang hakim yang sangat bijaksana dan amat dihormati orang karena kejujuran, Lanjutkan membaca Kisah Hakim yang Bijaksana, Sebuah Cerita Rakyat dari Sulawesi Selatan
Ketika anak kecil bermain sendirian Nenek Pakande akan datang dan menculiknya. inilah mengapa ia sering disebut Pakande yang artinya makan. Cerita ini sudah terjadi lama sekali. Namun semua orang tua di Soppeng selalu menggunakan cerita ini untuk menakuti anak-anak mereka. Pada suatu waktu, dua orang anak bermain-main di halaman rumah mereka. Hingga waktu maghrib tiba, mereka masih bermain. Ibu mereka datang untuk menyuruh mereka masuk ke rumah, namun anak-anak itu menolak. Mereka lebih memilih bermain ketika mengikuti perintah ibunya. Baca Juga Dongeng Legenda Batu Menangis, Kisah Seorang Putri yang Durhaka pada Ibunya Hal yang ditakutkan pun terjadi, Nenek Pakande datang dan membawa mereka pergi ke tempat persembunyiannya di dalam hutan. Malam itu juga para warga berbondong-bondong masuk ke hutan tempat Nenek Pakande bersembunyi. Para warga mencari keseluruh pelosok hutan namun hingga pagi menjelang mereka tidak berhasil menemukan tanda-tanda Nenek Pakande. Paginya para warga berkumpul di alun-alun desa. Mereka mencari cara untuk menangkap nenek Pakande. Tiba-tiba datanglah Labeddu menawarkan ide untuk menangkap Nenek Pakande. Baca Juga Cerita Rakyat Legenda Joko Kendil, Pemuda Biasa yang Bermimpi Nikahi Putri Raja
CeritaRakyat Dari Sulawesi Selatan. Baca juga cerita rakyat sulawesi barat dan kalimantan timur yang seru lainnya pada posting berikut ini cerita rakyat dari maluku dan dongeng. Cerita rakyat sulawesi selatan nenek pakande. Cerita Rakyat SulawesiSelatan YouTube from raja yang terkenal adil dan bijaksana memimpin kerajaan ini. Anda pengunjung ke 30.305.789 sejak 20
Berikut ini, tabbbayun akan menceritakan sebuat kisah yang berjudul yang cerita inspiratif tentang Nenek Pakande yang singkat. Dimana cerita ini cocok menemani anak-anak sebelum kala, di sebuah desa di Sulawesi Selatan, hiduplah seorang nenek tua yang dikenal sebagai Nenek Pakande. Nenek Pakande merupakan cerita rakyat yang terkenal di kalangan suku Bugis. Namun, dalam cerita rakyat Bugis ini, Nenek Pakande digambarkan sebagai sosok yang suka memakan atau memangsa Pakande, yang namanya berasal dari kata “manre'” yang berarti “makan”, digambarkan sebagai “si tukang makan”. Cerita rakyat Nenek Pakande memiliki berbagai versi, dan berikut ini adalah salah satu versi yang dilansir dari buku “Cerita Rakyat Daerah Wajo di Sulawesi Selatan”.Kisah Nenek Pakande dimulai dengan dua anak laki-laki bersaudara yang tinggal bersama ayah dan ibu tirinya. Anak sulung berusia 5 tahun dan adiknya berusia 2 tahun. Ayah mereka bekerja sebagai petani, sehingga ketika pergi ke kebun, kedua anak itu tinggal bersama ibu ibu tirinya memiliki sifat jahat dan tidak menyukai kedua anak tersebut. Mereka sering kali tidak diberi makan sepanjang hari. Ketika ayah mereka pulang, baru ibu tirinya membawa kedua anak itu ke dapur dan melumuri muka mereka dengan nasi. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan kepada ayah mereka bahwa kedua anak tersebut hanya bermain dan makan sepanjang hari, kedua anak ini mengalami hal yang sama. Suatu hari, saat mereka sedang bermain bola di depan rumah mereka, bola yang mereka mainkan tanpa sengaja masuk ke dalam rumah dan mengenai seorang tamu. Ibu tirinya menjadi sangat marah dan berniat untuk membunuh kedua anak tersebut dan memakan hati ayah pulang, ibu tirinya membujuk suaminya untuk turut membunuh anak-anak. Ia mengatakan bahwa kedua anak itu semakin nakal dan jahat. Ayah mereka terpengaruh dan menarik kedua anak itu untuk itu disaksikan oleh tetangga mereka. Salah satu tetangga kemudian mendekati mereka dan meminta agar mereka tidak membunuh anak-anak mereka sendiri di dalam rumah. Tetangga tersebut menawarkan diri untuk membawa anak-anak itu ke hutan dan membunuh mereka. Ia mengatakan bahwa nanti ia akan membawa pulang hati mereka untuk suami istri mereka melepaskan kedua anak itu agar dibawa ke hutan. Sesampainya di tengah hutan, tetangga tersebut merasa iba pada kedua anak tersebut. Ia meminta anak-anak itu untuk pergi dan tidak pernah kembali lagi ke rumah tersebut. Setelah itu, tetangga itu mengambil hati binatang sebagai anak laki-laki itu terus berjalan hingga melewati tujuh bukit dan tujuh gunung. Tak lama kemudian, mereka menemukan sebuah rumah tua di tengah hutan. Mereka memutuskan untuk singgah di sana dan meminta masuk ke dalam rumah yang ternyata tidak memiliki pintu. Di dalam rumah itu, mereka melihat tulang belulang yang berserakan di lantai dan di atas meja. Meskipun mereka merasa takut, rasa lapar yang begitu kuat membuat mereka mencari pemilik rumah. Namun, mereka tidak menemukan siapa pun di dalam rumah lalu pergi ke dapur dan menemukan berbagai makanan yang tersimpan di sana. Dalam keadaan lapar yang sangat, mereka memberanikan diri untuk mengambil makanan dan menyantapnya dengan malam menjelang, tiba-tiba terdengar suara menggelegar seperti guntur. Kedua anak itu kaget dan ketakutan.“Hmm… ada yang berbau manusia!” suara itu saat itu mereka menyadari bahwa rumah itu adalah rumah Nenek Pakande, sosok perempuan tua yang pemakan Pakande naik ke atas rumah dan bertanya kepada kedua anak tersebut, “Siapakah kalian, cucu-cucu?”Mereka menjawab, “Kami adalah anak yang tidak memiliki ibu. Ayah kami sudah menikah lagi, dan ibu tirinya tidak menyukai kami. Kami terpaksa membuang diri, dan kami sampai di rumah ini.”Nenek Pakande berkata, “Baiklah, tinggallah kalian di sini, cucu-cucu. Jaga rumah ini, karena aku sering bepergian.”Nenek Pakande kemudian bertanya, “Sudahkah kalian makan?”Anak-anak itu menjawab, “Sudah, nenek!”Nenek Pakande berkata lagi, “Makanlah banyak supaya cepat besar!”Kedua anak itu mulai merasa tenang dan mempercayai kata-kata Nenek Pakande. Nenek Pakande terus bertanya, “Bagaimana ukuran hatimu, cucu?”Mereka menjawab, “Masih sebesar biji beras, nenek.”Nenek Pakande berkata, “Makanlah, makanlah supaya cepat besar!”Dialog seperti itu terjadi setiap hari. Kedua anak itu tinggal di rumah tersebut bersama dengan Nenek demi hari berlalu, kedua anak tersebut tinggal di rumah Nenek Pakande. Mereka terus makan dan bertambah besar. Setiap kali Nenek Pakande pulang dari perjalanannya, dia senang melihat perkembangan kedua anak dalam hati kedua anak itu, mereka merasa ada yang tidak beres. Mereka masih ingat kejahatan ibu tirinya yang ingin membunuh mereka. Mereka merasa waspada terhadap Nenek Pakande, meskipun dia telah memberi mereka tempat tinggal dan hari, saat Nenek Pakande pergi berpergian lagi, kedua anak itu mengintip ke dalam kamar Nenek Pakande yang terkunci rapat. Mereka memutuskan untuk membuka pintunya dengan hati-hati. Saat pintu terbuka, mereka melihat sesuatu yang dalam kamar itu, terdapat sebuah ruangan bawah tanah yang gelap dan penuh dengan tulang-tulang manusia. Mereka kaget dan terkejut. Akhirnya, mereka menyadari kebenaran tentang Nenek Pakande. Dia benar-benar seorang pemangsa anak itu sangat takut dan merasa terancam. Mereka merencanakan pelarian dari rumah itu, karena mereka takut Nenek Pakande akan kembali dan melakukan kejahatannya pada malam hari, ketika Nenek Pakande masih belum pulang, mereka memutuskan untuk kabur. Mereka merangkak keluar dari rumah dan berlari secepat mungkin menjauh dari tempat itu. Hatinya penuh dengan ketakutan, namun juga dengan harapan anak itu terus berlari dan bersembunyi di hutan selama beberapa hari. Mereka bertahan dengan apa yang bisa mereka temukan di alam liar. Tapi mereka tidak kehilangan harapan untuk menemukan tempat yang hari, mereka bertemu dengan seorang kakek yang baik hati. Kakek itu mengasihani nasib kedua anak itu dan mengajak mereka pulang ke rumahnya. Kakek itu adalah seorang petani yang tinggal sendirian dan tidak memiliki cucu. Dia merawat kedua anak itu seperti cucunya anak itu akhirnya menemukan kehidupan baru yang penuh kasih sayang. Mereka diberi makanan yang cukup, tempat tidur yang nyaman, dan perhatian yang hangat. Mereka tumbuh menjadi anak-anak yang bahagia dan sehat di bawah perlindungan sang ingatan mereka, mereka selalu berterima kasih kepada tetangga yang telah menyelamatkan mereka dari takdir yang mengerikan. Mereka berjanji untuk hidup dengan penuh rasa syukur dan menciptakan dunia yang lebih baik di sekitar cerita singkat yang populer, cocok dibacakan untuk anak sebelum tidur berjudul cerita inspiratif tentang Nenek Pakande, lengkap dengan pesan moral dari cerita Nenek Pakande ini adalahKebaikan dan kejahatan dapat ditemukan dalam diri setiap individu. Terkadang, penampilan luar seseorang dapat menipu kita. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk melihat lebih dalam dan tidak mudah terpengaruh oleh penampilan ini mengajarkan kepada kita bahwa kebaikan sejati datang dari hati yang tulus dan perbuatan yang baik. Meskipun kedua anak itu menghadapi perlakuan buruk dari ibu tirinya, mereka tetap mempertahankan kebaikan dan mencari tempat yang itu, cerita ini mengingatkan kita untuk tetap berhati-hati dalam mempercayai orang lain. Kedua anak itu mengalami ketakutan dan bahaya ketika mereka tidak waspada terhadap Nenek Pakande. Ini mengajarkan kepada kita pentingnya waspada dan kritis terhadap lingkungan sekitar kita.
Berdiriterhuyung-huyung, Nenek Pakande bersumpah, "Suatu saat saya pasti kembali! Akan saya pantau anak-anak kalian dari jauh dengan cahaya bulan.". Ia juga berteriak mengancam, "Saya akan memakan anak-anak yang masih berkeliaran di luar rumah saat malam!". Setelah itu, Nenek Pakande pergi entah kemana.
Alkisah di suatu daerah di Soppeng sebuah Kabupaten di Sulawesi Selatan, terdapatsuatu desa dengan rakyatnya sangat bersahabat, senantiasa hidup tentram, damai, dan sejahtera. Hampir atau bahkan seluruh masyarakat yang tinggal di daerah itu bermata pencaharian sebagai seorang petani. Setiap hari mereka berbondong-bondong ke sawah untuk bertani di lahan mereka masing-masing. Pada suatu ketika, desa yang terkenal tentram tersebut terusik oleh seorang nenek tua yang rambutnya berwarna putihmemakai konde di kepalanya, wajah yang keriput, dengan badan yang setengah membungkuk, lalu memakai sarung batik dan kemeja. Sekilas terlihat nenek itu hanyalah seorang nenek tua yang biasa-biasa saja yang sedang mencari tempat tinggal. Tapi siapa yang menyangka bahwa nenek tua itu adalah seorang siluman yang suka memangsa daging manusia terlebihnya daging anak-anak. Dengan karakternya yang dikenal seperti itu, maka warga setempat pun menamai nenek itu dengan sebutan Nenek Pakande diambil dari bahasa Bugis yaitu kata manre yang berarti makan. Biasanya Nenek Pakande itu berkeliaran keliling kampung untuk mencari mangsa pada hari ketika sang fajar sudah mulai tenggelam. Suatu sore saat hari sudah mulai gelap, ada sepasang saudara kakak beradik yang tengah seru bermain di sekitar halaman rumah mereka. “Nak, ayo cepat masuk ke rumah ini sudah malam!” Seru ibunya dari balik pintu. Akan tetapi kedua bersaudara itu sedikit pun tak menghiraukan apa yang diperintahkan oleh ibunya dan kemudian kembali lagi bermain. Mereka hanya memanggap perintah ibunya hanyalah angin yang berhembus begitu saja. Tidak lama kemudian, ibu dari kedua anak itu pun sejenak menghampiri kedua anaknya dan menyuruhnya masuk, tetapi kedua anak itu tetap saja membandel. Dan ibu itu pun kembali masuk ke rumahnya dan membiarkan anak-anaknya bermain. Tanpa ibu itu menyadari bahwa anaknya sedang dipantau dari jarak jauh oleh Nenek Pakande. Melihat suasana yang sangat sunyi, tak ada seorang pun yang berlalu-lalang di sekitar tempat itu, Nenek Pakande mempergunakan waktu itu untuk menculik kedua anak tersebut lalu dijadikannya mangsa. Berselang waktu kemudian, ibu dua orang anak tersebut keluar dan didapatinya kedua anaknya sudah tak ada di tempatnya lagi. Lalu ia mencari ke seluruh penjuru rumahnya tetapi ia tak menemukan anaknya sekali pun. Ia pun bergegas keluar rumah sambil teriak minta tolong. “Tolong…..tolong…..tolong….. Anakku hilang!” dengan suara yang tersedu-sedu sambil menangis. “Ada apa bu? Apa yang terjadi dengan anak ibu?” sapa salah satu warga setempat. Lalu ibu itu pun menceritakan apa-apa yang telah terjadi dengan anak-anaknya kepada bapak itu. Kemudian bapak itu segera memanggil warga untuk membantunya mencari. Lambat laung pun warga sudah terkumpul banyak, siap untuk melakukan pencarian menelusuri kampung-kampung dengan alat penerangan seadanya. Hingga larut malam pun tiba, kedua anak tersebut tak kunjung jua ditemukan. Akhirnya kepala kampung yang memimpin pencarian tersebut meminta pencarian itu dihentikan sementara. Keesokan harinya saat pencarian akan dilakukan kembali, tiba-tiba ada laporan dari seorang warga yang kehilangan bayinya, ketika saat itu orang tua bayi tersebut sedang tertidur nyenyak. Warga setempat pun semakin resah dengan kejadian yang saat ini menimpa desa mereka. Ketika malam tiba para orang tua tidak bisa menutup kedua kelopak matanya karena dihantui rasa cemas. Mereka harus memantau anak-anak mereka serta menjaganya hingga pagi menjemput. Saat para warga berkumpul di suatu titik di desa mereka, mereka menceritakan setiap kekhawatiran yang mereka alami saat malam hari tiba. Mereka bingung, siapa dalang di balik penculikan misterius ini. Seketika ada seorang warga yang mengusulkan untuk pergi ke rumah Nenek Pakande. Karena warga setempat tahu bahwa Nenek Pakande adalah seorang pemangsa anak-anak. “Kenapa kita hanya berdiam diri saja di sini, kenapa kita tidak langsung saja beramai-ramai ke rumah Nenek Pakande itu? Karena besar kemungkinan dia yang telah menculik anak-anak yang ada di desa kita.” “Hei, bukankah Nenek Pakande itu adalah seseorang yang sangat sakti, karena dia memiliki kekuatan gaib yang sulit untuk ditaklukkan.” Tentang salah seorang warga lainnya. “Ya benar juga, Nenek Pakande adalah seorang siluman yang sangat sakti, tak ada seorang manusia biasa pun yang bisa mengalahkan kesaktiannya. Setauku Nenek Pakande hanya takut kepada sosok raksasa yang bernama Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Tetapi sekarang entah di mana raksasa itu berada. Kabar serta seluk beluk tubuhnya pun tak pernah lagi terdengar dan terlihat.” Jawabnya seorang warga lagi. Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale adalah sesosok raksasa yang tingginya diperkiran 7 hasta dengan badan yang sangat besar, dia juga suka memakan daging manusia. Akan tetapi dia adalah raksasa yang baik hati, hanya memakan manusia yang bersifat buruk dan manusia yang tidak disukainya. “Lantas apa yang harus kita perbuat sekarang untuk memusnahkan Nenek Pakande itu?” melanjutkan pertanyaan. Tak seorang pun dari mereka yang ingin angkat bicara, suasana saat itu tiba-tiba menjadi diam, penuh kecemasan dan kekhawatiran, dan mereka kebingungan tentang masalah itu. Di tengah-tengah kecemasan tersebut, seorang pemuda yang berdiri di tengah-tengah sekumpulan warga pun angkat bicara. Pemuda tersebut bernama La Beddu, dia adalah pemuda yang cerdik, pandai, lagi berani. Dia dikenal warga sebagai pemuda yang ramah, taat beribadah, dan suka membantu orang yang sedang tertimpa masalah. “Maaf para warga-warga desa jika saya lancang, tapi saya punya suatu cara untuk mengenyahkan Nenek Pakande dari desa kita.” Suasana pun menjadi hening seketika. Timbullah ribuan harapan yang tertimbun di dalam diri setiap warga, tapi tidak sedikit pula warga yang memandangnya sebelah mata dengan pandangan yang merendahkan, karena mereka tidak yakin bahwa La Beddu bisa mengalahkan Nenek Pakande. “Hai La Beddu, apa kuasamu? Kamu hanyalah pemuda biasa yang tidak memiliki kesaktian sedikit pun, dibandingkan dengan Nenek Pakande yang kesaktiannya sangat kuat.” Jawab seorang warga selaku merendahkan. La Beddu kemudian diam dan tersenyum dan melanjutkan pembicaraan dengan nada yang tenang. “Tidak selamanya kesaktian harus dilawan dengan kesaktian pula. Kita sebagai manusia diberi akal untuk berfikir.” Jelas La Beddu. “Apa sekiranya maksudmu itu La Beddu? Apakah kamu tak takut sedikit pun dengan Nenek Pakande?” Tanya warga tersebut sekali lagi. “Maksud saya, kita bisa melawan Nenek Pakande tidak harus ketika kita memiliki kesaktian yang kuat. Kita bisa melawannya dengan akal cerdik kita. Jika kita saling bahu membahu melawannya, yakinlah bahwa kita bisa mengenyahkannya. Maka dari itu siapkan saya beberapa ekor belut dan kura-kura, salaga garu, busa sabun satu ember, kulit rebung yang sudah kering, dan sebuah batu besar. Dan setelah itu kumpulkanlah semua hewan dan benda-benda itu di rumah saya.” Seru La Beddu. “Untuk apa hewan beserta benda-benda tersebut La Beddu?” Tanya warga lainnya. “Nantilah kalian mengetahuinya setelah apa yang ku perintahkan telah terkumpul semua di rumahku.” Jawab La Beddu. Seketika pun warga membubarkan diri mereka masing-masing dan segera mencari apa yang diperintahkan oleh La Beddu. Ada yang mencari belut di sawah-sawah, kura-kura di sungai, dan yang lainnya sibuk membuat salaga dan menyiapkan busa sabun satu ember. Setelah semuanya terkumpul, barulah mereka menuju ke rumah La Beddu dan mengumpulkan semua apa yang telah diperintahkannya. “Hai La Beddu, sekarang jelaskan kepada kami apa guna barang yang telah engkau suruhkan kepada kami!” seru seorang warga. La Beddu pun kemudian menjelaskan apa guna dari barang-barang tersebut. Selaga akan dia jadikan menyerupai sisir dan kura-kura sebagai kutu raksasa. Busa sabun ia akan jadikan menyerupai air liur, kulit rebung sebagai terompet atau pembesar suara agar menyerupai suara besar seorang raksasa. Adapun belut dan batu besar akan di tempatkan di depan pintu dan di bawah tangga. Itu semua aku perintahkan agar kita bisa mengelabui Nenek Pakande dengan menyamar sebagai raksasa. Pada siang hari, La Beddu beserta warga pun menyusun rencana untuk mengelabui Nenek Pakande. Dua orang utusan warga diperintahkan untuk menaruh belut dan batu besar di depan pintu dan di bawah tangga kemudian bersembunyi di bawah rumah panggung. Setelah matahari sudah mulai tak nampak lagi dan hari sudah mulai gelap, para warga mengunci rapat-rapat pintu mereka dan memadamkan lampu pelita mereka. Ini adalah sebagian dari rencana La Beddu karena ada sebuah rumah yang terletak paling ujung di perkampungan mereka yang dinamakan Balla Raja, rumah itu adalah rumah panggung yang sangat besar. Di rumah itu diberikan cahaya lampu yang paling terang agar Nenek Pakande tersebut terpancing dan menuju ke rumah itu. Salah satu umpan yang lain adalah di taruhnya anak bayi di dalam suatu kamar tetapi dalam pengawasan ketat warga setempat. Sementara La Beddu bersembunyi di atas genteng. Malam itu adalah malam Jum’at, di mana sinar rembulan sangat terang. Saat Nenek Pakande sudah mulai berkeliaran, dia heran mengapa semua lampu tak ada satu pun yang menyala keculai rumah yang bernama Balla Raja. Nenek Pakande pun menghampiri rumah tersebut. Beberapa saat kemudian setelah Nenek Pakande tiba di depan pintu yang sangat besar dia mencium aroma seorang bayi dari dalam rumah tersebut. Tanpa berpikir panjang, Nenek Pakande pun masuk ke dalam rumah tersebut. Tanpa sepengetahuan Nenek Pakande, 2 orang pemuda tersebut melaksanakan tugasnya dan kembali bersembunyi. Ketika dia berhadapan dengan pintu kamar yang sangat tinggi dan besar, Nenek pakande pun semakin merasakan aroma bayi tersebut. Seketika muncullah suara misterius yang menyapa Nenek Pakande. “Hei Nenek Pakande, apa gerangan yang membuat engkau datang ke mari?” Tanya La Beddu yang menyamar sebagai raksasa besar Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. “Saya ingin mengambil bayi yang ada dibalik pintu besar itu. Siapa kamu?” jawab Nenek Pakande. “Saya Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale, dan saya ingin kamu pergi dari desa ini sejauh mungkin karena sudah meresahkan warga setempat.” Ujar sang raksasa. “Ahh, saya tidak percaya jikalau kamu ada raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale.” Jawab Nenek Pakande dengan menambah beberapa langkah kakinya selaku mengacuhkan. La Beddu pun menumpahkan seember busa sabun yang dipakainya untuk mengelabuhi Nenek Pakande sebagai air liur raksasa. Lalu memperdengarkan suara mengaumnya. “Aku lapar Nenek Pakande, lihatlah air liurku sudah mengalir. Jika kau tak segera enyah dari hadapanku, maka kau akan menjadi santapanku.” Dengan dihantui rasa cemas, Nenek Pakande pun berkata lagi, “Hihihi, saya tidak percaya denganmu, pasti kamu hanyalah orang biasa yang menyamar sebagai Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale.” La Beddu pun menjatuhkan selaga yang dibuatnya menyerupai sisir yang besar dan kura-kura secara beruntung. “Ah.. Kutu ini banyak menggangguku dan membuat kepalaku gatal saja.” Kata Sang Pemuda yang mengaum. “ Nenek Pakande, kau jangan membuatku jadi lebih marah lagi.” Lanjut La Beddu. Melihat kura-kura dan selaga yang jatuh ke lantai, membuat nyali Nenek Pakande akhirnya ciut juga. Tanpa menunggu lama, Nenek pakande pun lari menuju pintu keluar. Tanpa dilihatnya, dia menginjak seekor belut dan terpeleset jatuh hingga anak tangga yang paling akhir dan kepalanya terbentur pada batu besar yang telah disiapkan. Tetapi Nenek Pakande tetap memaksakan diri untuk bangkit kembali. Dengan kesaktiannya, Nenek Pakande pun terbang ke bulan. Dan sebelum terbang ke bulan, Nenek Pakande meninggalkan suatu pesan “Saya akan memantau anak kalian dari atas sana dengan cahaya rembulan di malam yang sangat gelap. Dan suatu saat nanti saya akan kembali memangsa anak-anak kalian.” Maka dari itu, orang tua sekarang banyak yang menasehati anaknya jangan keluar jika sudah malam, nanti kalian di makan Nenek Pakande. Sekian cerita rakyat ini dapat saya sampaikan. Semoga cerita rakyat ini dapat menambah khazanah cerita rakyat yang kitamiliki. Sampai jumpa di cerita rakyat selanjutnya.
CeritaRakyat Sulawesi Selatan - Nenek Pakande. Alkisah di suatu daerah di Soppeng (sebuah Kabupaten di Sulawesi Selatan), terdapatsuatu desa dengan rakyatnya sangat bersahabat, senantiasa hidup tentram, damai, dan sejahtera. Hampir atau bahkan seluruh masyarakat yang tinggal di daerah itu bermata pencaharian sebagai seorang petani.
Banyak legenda dari berbagai daerah di Indonesia yang menarik untuk disimak. Salah satunya adalah cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan. Bila penasaran, langsung simak ulasannya dalam artikel ini, yuk!Cerita rakyat Nenek Pakande menjadi salah satu legenda yang populer di Provinsi Sulawesi Selatan. Kisah wanita tua ini sering diceritakan oleh para orangtua kepada anak-anaknya supaya jangan bermain di luar rumah pada malam kamu belum familier dengan ceritanya, maka ulasan tentang legenda Nenek Pakande bisa kamu jumpai di artikel ini. Ada juga pembahasan mengenai unsur intrinsik, pesan moral, beserta fakta menarik dari kisah nenek tua kira-kira seperti apa cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan beserta ulasan lengkapnya? Daripada semakin penasaran, lebih baik kamu langsung simak pembahasannya dalam uraian berikut, yuk!Cerita Rakyat Sulawesi Selatan Nenek Pakande Sumber YouTube – Dongeng Kita Konon pada zaman dahulu kala, terdapat suatu desa yang makmur dan damai di daerah Soppeng, Sulawesi Selatan. Penduduk desa ini sebagian besar berprofesi sebagai petani. Selain itu, ada juga yang bermata pencaharian sebagai pedagang dan pandai besi. Biasanya, suasana desa akan semakin ramai bila musim panen tiba karena banyaknya warga yang melakukan transaksi di pasar. Sayangnya, suasana desa yang aman dan sejahtera itu terusik dengan kedatangan seorang nenek tua bernama Nenek Pakande. Ia memiliki perawakan badan yang setengah membungkuk, rambut berwarna putih, dan wajah yang sudah berkeriput. Meskipun penampilannya seperti wanita-wanita tua kebanyakan, Nenek Pakande sebenarnya bukanlah manusia biasa. Wanita tua ini merupakan siluman pemakan manusia yang menjelma sebagai manusia untuk mencari mangsanya. Menurut legenda, Nenek Pakande adalah pemakan daging manusia. Wanita tua ini akan menculik bayi ataupun anak-anak kecil yang akan menjadi santapannya. Oleh sebab itu, beberapa kali terdengar kabar bahwa ada anak-anak kecil dan bayi di desa-desa lainnya. Nenek Pakande berkeliling ke desa di daerah Soppeng itu pada malam hari guna mencari mangsa baru. Ia diam-diam mengamati interaksi penduduk di desa di balik semak-semak yang mengelilingi desa tersebut. Pada suatu malam, ada dua anak kecil bersaudara yang tengah asyik bermain di halaman rumah. Ibu dari kedua bocah itu telah berkali-kali meminta anaknya untuk segera masuk ke dalam rumah dan mandi. “Ayolah anak-anak, turuti permintaan ibu. Ibu masih sibuk mempersiapkan makan malam untuk kalian dan ayah,” ujar ibu mereka. Karena anak-anak itu tetap mengabaikannya, sang ibu masuk ke dalam rumah dengan kesal karena harus cepat-cepat memasak. Melihat situasi yang sudah sepi, Nenek Pakande dengan cepat menculik kedua anak itu dan membawanya ke tempat persembunyiannya. Sang ibu yang keluar dari rumah untuk mengecek anak-anaknya, wajahnya berubah pucat pasi karena ia kedua anaknya sudah tak ada. Penculikan Anak dan Bayi yang Dilakukan oleh Nenek Pakande Sang ibu mencari anak-anaknya di sekitar rumah, bahkan hingga di pelosok-pelosok desa. Namun, usaha si ibu tidak membuahkan hasil. Ia lalu meminta pertolongan orang-orang kampung. Di bawah sinar bulan, warga desa berkumpul dan bertanya kepada ibu itu berteriak minta tolong. Sang ibu menjelaskan kalau kedua anaknya tiba-tiba menghilang padahal sebelumnya masih asyik bermain di pekarangan rumah. Salah satu warga lalu berinisiatif untuk menemui pemimpin kampung mereka. Rombongan warga ini kemudian mendatangi rumah sang kepala desa. Kedatangan para warga tentunya membuat sang kepala desa terkejut. “Ada apa kalian beramai-ramai ke sini di malam yang sudah larut ini?” tanya sang pemimpin desa. “Maafkan telah mengganggu waktu istirahat bapak. Tapi, ada warga kita yang kehilangan anak, pak” ujar salah satu warga. “Kehilangan anak? Kok bisa?” tanya sang kepala desa dengan penuh kebingungan dalam cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan. Sang ibu yang kehilangan kedua anaknya kemudian menjelaskan kejadian tragis yang menimpa dirinya. Kepala desa lalu meminta para warga untuk mencari lagi di seluruh pelosok desa dan sekitaran hutan yang mengelilingi kampung itu. Para warga melakukan pencarian dengan menggunakan obor-obor dari bambu sebagai sumber penerangan. Sayangnya, sampai tengah malam sekalipun, pencarian itu hasilnya nihil. Sang kepala desa kemudian menyuruh para warganya pulang ke rumah untuk tidur dan mengumpulkan tenaga untuk pencarian di esok hari. Keesokan harinya, para warga berkumpul di depan rumah sang kepala desa. Mereka berdiskusi tentang area mana saja yang perlu diperiksa kembali dalam pencarian. Tiba-tiba saja, datang seorang ibu-ibu yang melaporkan bahwa bayinya hilang. Sang ibu menjelaskan bahwa bayinya hilang saat ia tidur padahal mereka tidur di ruangan yang sama. Kepala desa menanyakan kemana suami sang ibu ini, tapi ia mengatakan kalau suaminya tengah pergi ke kampung sebelah untuk menjenguk saudaranya yang sakit. Diskusi Rencana untuk Mengalahkan Nenek Pakande Para warga yang memiliki anak-anak kecil pun merasa ketakutan. Mereka khawatir kalau anak-anak mereka akan menjadi korban selanjutnya. Para penduduk di desa itu tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ketika warga tengah sibuk berdiskusi untuk mencari solusi masalah penculikan itu, tiba-tiba seorang pemuda bernama La Beddu angkat bicara. “Sepertinya anak-anak dan bayi yang hilang diambil oleh Nenek Pakande,” ujar laki-laki ini. “Minggu lalu tersiar juga kabar bahwa ada anak kecil dari kampung sebelah yang menghilang,” lanjut La Beddu. “Kita sepertinya perlu mengalahkan Nenek Pakande jika tidak ingin anak-anak kecil lainnya menjadi korban selanjutnya,” lanjut pemuda itu. “Tapi, bukankah Nenek Pakande adalah seorang yang sakti?” tanya salah satu warga. “Benar! Aku dengar tak seorang manusia pun yang bisa mengalahkan Nenek Pakande. Kabarnya sang nenek hanya takut kepada sosok raksasa yang bernama Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale,” timpal warga lainnya. “Keberadaan Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale sendiri juga tidak diketahui. Tidak ada seorang pun yang pernah berjumpa dengan raja raksasa ini,” ujar salah satu warga. Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale adalah raja raksasa yang sebenarnya juga pemakan manusia. Namun, berbeda dengan Nenek Pakande, raksasa ini hanya memangsa manusia-manusia jahat yang perilakunya merugikan orang lain. “Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang untuk bisa mengalahkan Nenek Pakande?” tanya seorang warga dengan nada cemas. Para penduduk lainnya juga diam memikirkan solusi. Baca juga Legenda Asal Mula Sungai Kawat dan Ulasannya, Akibat Sifat Keserakahan Manusia Rencana La Beddu untuk Melawan Nenek Pakande Sumber YouTube – Dongeng Kita Dalam keheningan itu, La Beddu mengangkat suaranya lagi. “Saya punya rencana untuk memusnahkan Nenek Pakande,” ucapnya dengan yakin. Sebagian penduduk menunggu penjelasannya, sementara sebagian yang lain hanya menatapnya dengan pandangan sebelah mata. “Hei, La Beddu. Kamu jangan main-main, ya. Memangnya kamu punya kesaktian apa sampai memiliki kepercayaan diri untuk bisa mengalahkan Nenek Pakande?” tanya salah satu penduduk dengan nada merendahkan. La Beddu tidak terpancing emosi dan hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Kesaktian tidak selamanya harus dilawan dengan kesaktian juga. Manusia diberi akal untuk bisa berpikir,” jelasnya. “Lalu, kira-kira rencana apa yang kamu miliki untuk melawan Nenek Pakande?” tanya sang kepala desa. “Tuanku, saya butuh salaga garu, busa sabun satu ember, kulit rebung yang sudah kering, batu-batu besar, dan beberapa ekor belut,” jawab La Beddu. Para penduduk desa kemudian membubarkan diri dan segera mencari apa saja yang dipinta oleh La Beddu. Ada yang sibuk membuat salaga, mempersiapkan busa sabun satu ember, dan ada juga yang mencari belut di sawah serta kura-kura di pinggiran sungai. Setelah semua hal yang diminta oleh La Beddu terkumpul, dikisahkan dalam cerita Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan bahwa para penduduk lalu kembali berkumpul di depan rumah sang kepala desa. La Beddu lalu mengecek kelengkapan benda-benda itu. “Bagaimana? Apa masih ada yang kurang?” tanya sang kepala desa kepada La Beddu. “Sudah Tuanku, tapi bolehkah saya meminta seorang bayi yang nantinya akan saya letakkan di Balla Raja?” pinta pemuda itu dalam cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan. “Boleh saja. Tapi, jelaskan dulu rencanamu kepadaku dan para penduduk desa,” ucap sang kepala desa. La Beddu lalu menjelaskan rencananya kepada para warga di situ. Ia berencana akan menyamar sebagai Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Perjumpaan La Beddu dengan Nenek Pakande La Beddu mengungkapkan bahwa ia akan menggunakan selaga sebagai sisir dan kura-kura sebagai kutu raksasa. Sementara itu, busa sabun akan digunakan seperti air liur dan kulit rebung akan dipakai sebagai terompet agar suaranya bisa menggelegar seperti seorang raksasa. Rencananya, mereka akan menarik perhatian Nenek Pakande dengan menaruh bayi salah satu warga di Balla Raja yang merupakan rumah panggung paling besar di desa itu. Ia meminta bantuan para penduduk untuk menaruh belut di tangga pintu masuk Balla Raja dan batu-batu besar di sekitarnya. Tibalah waktu pelaksanaan untuk mengalahkan Nenek Pakande. Di malam yang disinari cahaya bulan purnama, para warga bahu-membahu mempersiapkan jebakan mereka untuk sang nenek. Lalu, setelah semua persiapan selesai, mereka bersembunyi di sekitar Balla Raja. Sementara itu, bayi yang diminta La Beddu telah di taruh di tengah-tengah ruangan rumah panggung tersebut. La Beddu sendiri mempersiapkan dirinya sebagai raksasa. Tak lama kemudian, muncullah Nenek Pakande dari arah hutan. Wanita tua itu melihat kondisi setiap rumah desa yang gelap gulita kecuali rumah panggung yang paling besar. Sayup-sayup ia mendengar suara tangis seorang bayi dalam rumah itu. Nenek Pakande dengan hati gembira berjalan ke arah Balla Raja dan diam-diam masuk ke dalam rumah. Namun, ketika ia akan mendekati sang bayi, tiba-tiba terdengar suara yang menggelegar. “Jangan kamu dekati bayi itu. Aku sudah mengincar bayi itu sejak tadi. Pergi kamu!” ujar La Beddu yang sedang berpura-pura menjadi raksasa. “Siapa kamu?! Aku juga ingin mengambil bayi itu. Aku tidak takut denganmu!” ucap Nenek Pakande. “Aku adalah Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale, dan aku ingin kamu pergi sekarang juga dari rumah dan desa ini. Wilayah ini sudah menjadi area kekuasaanku!” ujar La Beddu dengan nada mengancam. “Ah, aku tidak percaya kalau kamu adalah Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale,” jawab Nenek Pakande. Dikisahkan dalam cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan, sang nenek tetap mengacuhkan ancaman si raksasa dan kembali mendekati bayi incarannya. Kesuksesan Rencana La Beddu dan Matinya Nenek Pakande La Beddu lalu menumpahkan seembur air busa yang telah ia siapkan. “Ah, lihatlah! Air liurku sudah mengalir kemana-mana! Kalau kamu tidak segera pergi dari sini, aku akan menjadikanmu sebagai mangsaku!” ucap La Beddu dengan lantang. Kura-kura kecil yang ada di ember dekat La Beddu lalu ditumpahkan ke lantai ruangan itu. “Ah, kutu-kutu ini sangat menggangguku dan membuat kepalaku jadi gatal saja!” keluh La Beddu sambil menjatuhkan selaganya. Melihat kejadian itu, nyali Nenek Pakande yang awalnya tak ingin kalah tiba-tiba menciut. Ia pun berlari ke arah pintu keluar dengan buru-buru untuk menyelamatkan diri. Sayangnya, ketika Nenek Pakanda menuruni anak tangga, kakinya menginjak belut yang licin. Ia pun terpeleset dan kepalanya membentur batu-batu besar yang telah ditaruh oleh para warga di luar pintu. Nyawa Nenek Pakande tak terselamatkan. Para warga yang berjaga-jaga di sekitar Balla Raja dengan rasa cemas bersorak penuh kebahagiaan karena rencana mereka berhasil. La Beddu yang berada di dalam ruangan ikut keluar bergabung dengan para penduduk yang menyelamati satu sama lain atas kesuksesan mereka. Keesokan harinya, mayat Nenek Pakande dibakar dengan menggunakan api yang besar. Abu mayatnya juga ditebar ke berbagai penjuru agar tidak bisa hidup kembali. Begitulah akhir dari cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan. Baca juga Legenda Pangeran Biawak Asal Kalimantan Selatan Beserta Ulasan Menariknya Unsur Intrinsik Kisah Nenek Pakande Sumber YouTube – Dongeng Kita Dalam uraian di atas, kamu telah mengetahui bagaimana dongeng Nenek Pakande. Selanjutnya, tak lengkap rasanya kalau kamu tidak sekalian menyimak tentang unsur-unsur intrinsik dalam ceritanya. Yuk, langsung cek saja! 1. Tema Gagasan utama atau tema dari cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan adalah melawan kesaktian dengan kecerdikan. Dalam kisahnya, La Beddu berhasil mengalahkan Nenek Pakande menggunakan kecerdikannya dengan mendapatkan bantuan dari penduduk desa. 2. Tokoh dan Perwatakan Ada beberapa tokoh yang memiliki peran penting dalam dongeng yang populer di masyarakat Bugis ini. Pertama, Nenek Pakande yang memiliki watak licik, serakah, serta suka menculik anak dan bayi. Selanjutnya, karakter kepala desa yang menjadi sosok pemimpin bijaksana, peduli dengan warganya, serta bisa diandalkan dalam berbagai situasi. Sementara itu, La Beddu adalah pemuda yang pandai, ramah, dan tidak mudah terpancing emosi. Ada juga karakter ibu dari kedua bocah yang diculik yang memiliki watak peduli dengan anak-anaknya dan bisa mengambil keputusan dalam suasana genting. Kedua bocah yang diculik Nenek Pakande dijelaskan sebagai anak yang sedikit bandel dan tidak langsung mematuhi perintah orangtua. Para warga digambarkan sebagai karakter-karakter yang mempunya beragam watak. Sebut saja peduli dengan kesusahan tetangganya, meremehkan anak-anak muda, serta suka memancing emosi. 3. Latar Latar atau tempat kejadian cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan mengambil lokasi di sebuah desa yang berada di daerah Soppeng. Sementara itu, kejadian-kejadian di dalam kisahnya berlangsung di depan rumah ibu dua anak, rumah sang kepala desa, dan Balla Raja. 4. Alur Dongeng dari masyarakat Bugis ini mempunyai alur maju atau progresif. Di awal kisah, terdapat perkenalan desa yang makmur yang kemudian kedamaiannya diusik oleh Nenek Pakande. Puncak konflik terjadi ketika Nenek Pakande berhadapan dengan La Beddu yang berpura-pura sebagai raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Meskipun mulanya tidak percaya, sang nenek memilih untuk kabur karena takut dengan raksasa itu. Sayangnya, Nenek Pakande justru menemui kematiannya setelah kepalanya terbentur batu besar yang disediakan oleh para penduduk desa. Dongeng ditutup dengan dibakarnya mayat sang nenek supaya tidak bisa bangkit lagi. 5. Pesan Moral Pesan moral dari cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan adalah untuk tidak takut melawan kejahatan jika kamu memang berada di jalan yang benar. Keberanian La Beddu bisa kamu terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, kamu juga belajar untuk tidak mudah putus asa. Permasalahan yang sedang kamu hadapi akan ada jalan keluarnya jika kamu berpikiran jernih dan bisa mengambil sikap bijak. Bukan hanya unsur-unsur intrinsik, ada juga unsur ekstrinsik yang bisa kamu simpulkan dari dongeng di atas. Sebut saja nilai-nilai yang berlaku di masyarakat setempat, seperti nilai budaya, sosial, dan moral. Baca juga Cerita Abu Nawas Mencari Cincin dan Ulasannya, Kisah Menggelikan yang Mengandung Pesan Bijak Fakta Menarik Sumber YouTube – Dongeng Kita Setelah menyimak cerita rakyat Nenek Pakande dari Sulawesi Selatan, saatnya kamu mengetahui informasi menarik yang bersangkutan tentang dongeng tersebut. Simak ulasannya dalam penjelasan berikut 1. Ada Versi Lain Karena dikisahkan secara turun-temurun, bukan sebuah kebetulan kalau ada versi lain dari cerita Nenek Pakande di Sulawesi Selatan. Meskipun awalnya memiliki plot yang sama, akhir cerita bisa saja memiliki penutup yang berbeda. Ada yang menceritakan kalau Nenek Pakande tidak benar-benar mati. Konon, dengan kesaktiannya, sang nenek terbang ke bulan sebelum sempat dibunuh oleh para penduduk desa. Maka dari itu, ada beberapa orangtua dari suku Bugis yang masih percaya bahwa arwah Nenek Pakande masih hidup abadi. Karena kepercayaan itulah, beberapa orangtua melarang anak-anak mereka yang masih kecil untuk bermain di luar rumah ketika malam telah tiba. Baca juga Kisah Pangeran Sarif dari Betawi yang Sakti dan Bijaksana Beserta Ulasan Lengkapnya Cerita Rakyat Sulawesi Selatan Nenek Pakande yang Legendaris Begitulah ringkasan kisah Nenek Pakande yang merupakan salah satu dongeng populer dari kumpulan cerita rakyat dari Sulawesi Selatan. Kamu bisa menceritakan kembali legenda tersebut kepada si kecil ataupun keponakan-keponakan kesayangan. Selain artikel ini, masih banyak dongeng keren lainnya yang bisa kamu temukan di PosKata. Beberapa di antaranya adalah kisah Abu Nawas Mencari Cincin, legenda Pulau Si Jangoi, dan cerita rakyat Telaga Alam Banyu Batuah. Selamat membaca! PenulisAulia DianPenulis yang suka membahas makeup dan entertainment. Lulusan Sastra Inggris dari Universitas Brawijaya ini sedang berusaha mewujudkan mimpi untuk bisa menguasai lebih dari tiga bahasa. EditorKhonita FitriSeorang penulis dan editor lulusan Universitas Diponegoro jurusan Bahasa Inggris. Passion terbesarnya adalah mempelajari berbagai bahasa asing. Selain bahasa, ambivert yang memiliki prinsip hidup "When there is a will, there's a way" untuk menikmati "hidangan" yang disuguhkan kehidupan ini juga menyukai musik instrumental, buku, genre thriller, dan misteri.
CeritaRakyat Sulawesi Selatan Nenek Pakande. Nenek pakande adalah sebuah cerita mistik tentang seorang nenek yang kecanduan makan bayi dan bahkan anak kecil. Dia biasa jalan berkeliaran melalui desa kedesa. Sebenarnya, penampilan dari nenek ini adalah seperti wanita yang lebih tua lainnya, kulit keriput dan juga rambut, yang telah berubah.
Nenek Pakande Cerita Rakyat Sulawesi Selatan Alkisah di suatu daerah di Soppeng sebuah Kabupaten di Sulawesi Selatan, terdapatsuatu desa dengan rakyatnya sangat bersahabat, senantiasa hidup tentram, damai, dan sejahtera. Hampir atau bahkan seluruh masyarakat yang tinggal di daerah itu bermata pencaharian sebagai seorang petani. Setiap hari mereka berbondong-bondong ke sawah untuk bertani di lahan mereka masing-masing. Pada suatu ketika, desa yang terkenal tentram tersebut terusik oleh seorang nenek tua yang rambutnya berwarna putihmemakai konde di kepalanya, wajah yang keriput, dengan badan yang setengah membungkuk, lalu memakai sarung batik dan kemeja. Sekilas terlihat nenek itu hanyalah seorang nenek tua yang biasa-biasa saja yang sedang mencari tempat tinggal. Tapi siapa yang menyangka bahwa nenek tua itu adalah seorang siluman yang suka memangsa daging manusia terlebihnya daging anak-anak. Dengan karakternya yang dikenal seperti itu, maka warga setempat pun menamai nenek itu dengan sebutan Nenek Pakande diambil dari bahasa Bugis yaitu kata manre yang berarti makan. Biasanya Nenek Pakande itu berkeliaran keliling kampung untuk mencari mangsa pada hari ketika sang fajar sudah mulai tenggelam. Suatu sore saat hari sudah mulai gelap, ada sepasang saudara kakak beradik yang tengah seru bermain di sekitar halaman rumah mereka. “Nak, ayo cepat masuk ke rumah ini sudah malam!” Seru ibunya dari balik pintu. Akan tetapi kedua bersaudara itu sedikit pun tak menghiraukan apa yang diperintahkan oleh ibunya dan kemudian kembali lagi bermain. Mereka hanya memanggap perintah ibunya hanyalah angin yang berhembus begitu saja. Tidak lama kemudian, ibu dari kedua anak itu pun sejenak menghampiri kedua anaknya dan menyuruhnya masuk, tetapi kedua anak itu tetap saja membandel. Dan ibu itu pun kembali masuk ke rumahnya dan membiarkan anak-anaknya bermain. Tanpa ibu itu menyadari bahwa anaknya sedang dipantau dari jarak jauh oleh Nenek Pakande. Melihat suasana yang sangat sunyi, tak ada seorang pun yang berlalu-lalang di sekitar tempat itu, Nenek Pakande mempergunakan waktu itu untuk menculik kedua anak tersebut lalu dijadikannya mangsa. Berselang waktu kemudian, ibu dua orang anak tersebut keluar dan didapatinya kedua anaknya sudah tak ada di tempatnya lagi. Lalu ia mencari ke seluruh penjuru rumahnya tetapi ia tak menemukan anaknya sekali pun. Ia pun bergegas keluar rumah sambil teriak minta tolong. “Tolong…..tolong…..tolong….. Anakku hilang!” dengan suara yang tersedu-sedu sambil menangis. “Ada apa bu? Apa yang terjadi dengan anak ibu?” sapa salah satu warga setempat. Lalu ibu itu pun menceritakan apa-apa yang telah terjadi dengan anak-anaknya kepada bapak itu. Kemudian bapak itu segera memanggil warga untuk membantunya mencari. Lambat laung pun warga sudah terkumpul banyak, siap untuk melakukan pencarian menelusuri kampung-kampung dengan alat penerangan seadanya. Hingga larut malam pun tiba, kedua anak tersebut tak kunjung jua ditemukan. Akhirnya kepala kampung yang memimpin pencarian tersebut meminta pencarian itu dihentikan sementara. Keesokan harinya saat pencarian akan dilakukan kembali, tiba-tiba ada laporan dari seorang warga yang kehilangan bayinya, ketika saat itu orang tua bayi tersebut sedang tertidur nyenyak. Warga setempat pun semakin resah dengan kejadian yang saat ini menimpa desa mereka. Ketika malam tiba para orang tua tidak bisa menutup kedua kelopak matanya karena dihantui rasa cemas. Mereka harus memantau anak-anak mereka serta menjaganya hingga pagi menjemput. Saat para warga berkumpul di suatu titik di desa mereka, mereka menceritakan setiap kekhawatiran yang mereka alami saat malam hari tiba. Mereka bingung, siapa dalang di balik penculikan misterius ini. Seketika ada seorang warga yang mengusulkan untuk pergi ke rumah Nenek Pakande. Karena warga setempat tahu bahwa Nenek Pakande adalah seorang pemangsa anak-anak. “Kenapa kita hanya berdiam diri saja di sini, kenapa kita tidak langsung saja beramai-ramai ke rumah Nenek Pakande itu? Karena besar kemungkinan dia yang telah menculik anak-anak yang ada di desa kita.” “Hei, bukankah Nenek Pakande itu adalah seseorang yang sangat sakti, karena dia memiliki kekuatan gaib yang sulit untuk ditaklukkan.” Tentang salah seorang warga lainnya. “Ya benar juga, Nenek Pakande adalah seorang siluman yang sangat sakti, tak ada seorang manusia biasa pun yang bisa mengalahkan kesaktiannya. Setauku Nenek Pakande hanya takut kepada sosok raksasa yang bernama Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Tetapi sekarang entah di mana raksasa itu berada. Kabar serta seluk beluk tubuhnya pun tak pernah lagi terdengar dan terlihat.” Jawabnya seorang warga lagi. Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale adalah sesosok raksasa yang tingginya diperkiran 7 hasta dengan badan yang sangat besar, dia juga suka memakan daging manusia. Akan tetapi dia adalah raksasa yang baik hati, hanya memakan manusia yang bersifat buruk dan manusia yang tidak disukainya. “Lantas apa yang harus kita perbuat sekarang untuk memusnahkan Nenek Pakande itu?” melanjutkan pertanyaan. Tak seorang pun dari mereka yang ingin angkat bicara, suasana saat itu tiba-tiba menjadi diam, penuh kecemasan dan kekhawatiran, dan mereka kebingungan tentang masalah itu. Di tengah-tengah kecemasan tersebut, seorang pemuda yang berdiri di tengah-tengah sekumpulan warga pun angkat bicara. Pemuda tersebut bernama La Beddu, dia adalah pemuda yang cerdik, pandai, lagi berani. Dia dikenal warga sebagai pemuda yang ramah, taat beribadah, dan suka membantu orang yang sedang tertimpa masalah. “Maaf para warga-warga desa jika saya lancang, tapi saya punya suatu cara untuk mengenyahkan Nenek Pakande dari desa kita.” Suasana pun menjadi hening seketika. Timbullah ribuan harapan yang tertimbun di dalam diri setiap warga, tapi tidak sedikit pula warga yang memandangnya sebelah mata dengan pandangan yang merendahkan, karena mereka tidak yakin bahwa La Beddu bisa mengalahkan Nenek Pakande. “Hai La Beddu, apa kuasamu? Kamu hanyalah pemuda biasa yang tidak memiliki kesaktian sedikit pun, dibandingkan dengan Nenek Pakande yang kesaktiannya sangat kuat.” Jawab seorang warga selaku merendahkan. La Beddu kemudian diam dan tersenyum dan melanjutkan pembicaraan dengan nada yang tenang. “Tidak selamanya kesaktian harus dilawan dengan kesaktian pula. Kita sebagai manusia diberi akal untuk berfikir.” Jelas La Beddu. “Apa sekiranya maksudmu itu La Beddu? Apakah kamu tak takut sedikit pun dengan Nenek Pakande?” Tanya warga tersebut sekali lagi. “Maksud saya, kita bisa melawan Nenek Pakande tidak harus ketika kita memiliki kesaktian yang kuat. Kita bisa melawannya dengan akal cerdik kita. Jika kita saling bahu membahu melawannya, yakinlah bahwa kita bisa mengenyahkannya. Maka dari itu siapkan saya beberapa ekor belut dan kura-kura, salaga garu, busa sabun satu ember, kulit rebung yang sudah kering, dan sebuah batu besar. Dan setelah itu kumpulkanlah semua hewan dan benda-benda itu di rumah saya.” Seru La Beddu. “Untuk apa hewan beserta benda-benda tersebut La Beddu?” Tanya warga lainnya. “Nantilah kalian mengetahuinya setelah apa yang ku perintahkan telah terkumpul semua di rumahku.” Jawab La Beddu. Seketika pun warga membubarkan diri mereka masing-masing dan segera mencari apa yang diperintahkan oleh La Beddu. Ada yang mencari belut di sawah-sawah, kura-kura di sungai, dan yang lainnya sibuk membuat salaga dan menyiapkan busa sabun satu ember. Setelah semuanya terkumpul, barulah mereka menuju ke rumah La Beddu dan mengumpulkan semua apa yang telah diperintahkannya. “Hai La Beddu, sekarang jelaskan kepada kami apa guna barang yang telah engkau suruhkan kepada kami!” seru seorang warga. La Beddu pun kemudian menjelaskan apa guna dari barang-barang tersebut. Selaga akan dia jadikan menyerupai sisir dan kura-kura sebagai kutu raksasa. Busa sabun ia akan jadikan menyerupai air liur, kulit rebung sebagai terompet atau pembesar suara agar menyerupai suara besar seorang raksasa. Adapun belut dan batu besar akan di tempatkan di depan pintu dan di bawah tangga. Itu semua aku perintahkan agar kita bisa mengelabui Nenek Pakande dengan menyamar sebagai raksasa. Pada siang hari, La Beddu beserta warga pun menyusun rencana untuk mengelabui Nenek Pakande. Dua orang utusan warga diperintahkan untuk menaruh belut dan batu besar di depan pintu dan di bawah tangga kemudian bersembunyi di bawah rumah panggung. Setelah matahari sudah mulai tak nampak lagi dan hari sudah mulai gelap, para warga mengunci rapat-rapat pintu mereka dan memadamkan lampu pelita mereka. Ini adalah sebagian dari rencana La Beddu karena ada sebuah rumah yang terletak paling ujung di perkampungan mereka yang dinamakan Balla Raja, rumah itu adalah rumah panggung yang sangat besar. Di rumah itu diberikan cahaya lampu yang paling terang agar Nenek Pakande tersebut terpancing dan menuju ke rumah itu. Salah satu umpan yang lain adalah di taruhnya anak bayi di dalam suatu kamar tetapi dalam pengawasan ketat warga setempat. Sementara La Beddu bersembunyi di atas genteng. Malam itu adalah malam Jum’at, di mana sinar rembulan sangat terang. Saat Nenek Pakande sudah mulai berkeliaran, dia heran mengapa semua lampu tak ada satu pun yang menyala keculai rumah yang bernama Balla Raja. Nenek Pakande pun menghampiri rumah tersebut. Beberapa saat kemudian setelah Nenek Pakande tiba di depan pintu yang sangat besar dia mencium aroma seorang bayi dari dalam rumah tersebut. Tanpa berpikir panjang, Nenek Pakande pun masuk ke dalam rumah tersebut. Tanpa sepengetahuan Nenek Pakande, 2 orang pemuda tersebut melaksanakan tugasnya dan kembali bersembunyi. Ketika dia berhadapan dengan pintu kamar yang sangat tinggi dan besar, Nenek pakande pun semakin merasakan aroma bayi tersebut. Seketika muncullah suara misterius yang menyapa Nenek Pakande. “Hei Nenek Pakande, apa gerangan yang membuat engkau datang ke mari?” Tanya La Beddu yang menyamar sebagai raksasa besar Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. “Saya ingin mengambil bayi yang ada dibalik pintu besar itu. Siapa kamu?” jawab Nenek Pakande. “Saya Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale, dan saya ingin kamu pergi dari desa ini sejauh mungkin karena sudah meresahkan warga setempat.” Ujar sang raksasa. “Ahh, saya tidak percaya jikalau kamu ada raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale.” Jawab Nenek Pakande dengan menambah beberapa langkah kakinya selaku mengacuhkan. La Beddu pun menumpahkan seember busa sabun yang dipakainya untuk mengelabuhi Nenek Pakande sebagai air liur raksasa. Lalu memperdengarkan suara mengaumnya. “Aku lapar Nenek Pakande, lihatlah air liurku sudah mengalir. Jika kau tak segera enyah dari hadapanku, maka kau akan menjadi santapanku.” Dengan dihantui rasa cemas, Nenek Pakande pun berkata lagi, “Hihihi, saya tidak percaya denganmu, pasti kamu hanyalah orang biasa yang menyamar sebagai Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale.” La Beddu pun menjatuhkan selaga yang dibuatnya menyerupai sisir yang besar dan kura-kura secara beruntung. “Ah.. Kutu ini banyak menggangguku dan membuat kepalaku gatal saja.” Kata Sang Pemuda yang mengaum. “ Nenek Pakande, kau jangan membuatku jadi lebih marah lagi.” Lanjut La Beddu. Melihat kura-kura dan selaga yang jatuh ke lantai, membuat nyali Nenek Pakande akhirnya ciut juga. Tanpa menunggu lama, Nenek pakande pun lari menuju pintu keluar. Tanpa dilihatnya, dia menginjak seekor belut dan terpeleset jatuh hingga anak tangga yang paling akhir dan kepalanya terbentur pada batu besar yang telah disiapkan. Tetapi Nenek Pakande tetap memaksakan diri untuk bangkit kembali. Dengan kesaktiannya, Nenek Pakande pun terbang ke bulan. Dan sebelum terbang ke bulan, Nenek Pakande meninggalkan suatu pesan “Saya akan memantau anak kalian dari atas sana dengan cahaya rembulan di malam yang sangat gelap. Dan suatu saat nanti saya akan kembali memangsa anak-anak kalian.” Maka dari itu, orang tua sekarang banyak yang menasehati anaknya jangan keluar jika sudah malam, nanti kalian di makan Nenek Pakande. Sekian cerita rakyat ini dapat saya sampaikan. Semoga cerita rakyat ini dapat menambah khazanah cerita rakyat yang kitamiliki. Sampai jumpa di cerita rakyat selanjutnya. Cerita rakyat ini disadur kembali dari tempat ini
. yz7oby7gu7.pages.dev/282yz7oby7gu7.pages.dev/262yz7oby7gu7.pages.dev/47yz7oby7gu7.pages.dev/224yz7oby7gu7.pages.dev/166yz7oby7gu7.pages.dev/243yz7oby7gu7.pages.dev/247yz7oby7gu7.pages.dev/30yz7oby7gu7.pages.dev/91
cerita rakyat sulawesi selatan nenek pakande